Setelah Beliau Kyai Klitik menetap dan tinggal cukup lama di Lereng Gunung Slamet (kampung Kaputihan) maka banyak warga yang berdatangan dari tempat lain sehingga kampung Kaputihan menjadi ramai. Suatu ketika datanglah Syech Elang Sutajaya utusan Sunan Gunungjati (Syeh Syarief Hidayatulloh) dari pesantren Gunungjati Cirebon untuk syiar islam.
Dan kebetulan di kampung Kaputihan sedang terjadi pagebluk (bencana alam, penyakit merajalela, tanaman diserang hama dsb), sehingga Beliau Elang Sutajaya memohon petunjuk kepada Alloh SWT dengan semedi kemudian Alloh SWT member petunjuk, supaya masyarakat kampung Kaputihan meningkatkan iman dan taqwanya kepada Alloh SWT dengan menggelar tasyakuran, memperbanyak sedekah dan yang terkena wabah penyakit khususnya gatal-gatal agar meminun air dari kendi (Guci) yang sudah dido’akan oleh Sunan Gunungjati.
Dalam kesempatan itu pula Sunan Gunungjati berkenan mendo’akan sumber air panas di kampong Kaputihan agar bisa dipergunakan untuk menyembuhkan segala penyakit. Semenjak itu karena kendi (guci) berisi air yang sudah dido’akan oleh Sunan Gunungjati ditinggal dikampong Kaputihan dan selalu dijadikan sarana pengobatan.
“Maka sejak saat itu masyarakat sekitar menyebut-nyebut Guci-guci. Sehingga Kyai Klitik selaku Kepala Dukuh Kaputihan Merubahnya menjadi Desa Guci, dan Beliau sebagai Lurah pertamanya. Guci peninggalan Elang Sutajaya itu berada di Musium Nasional setelah pada pemerintahan Adipati Brebes Raden Cakraningrat membawanya ke Museum, cerita tersebut saya tahu juga dari para pendahulu-prndahulu,” jelasnya.
Tidak ada komentar
Posting Komentar